![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqWWNmsiVcZe2Ey0o0AUAzpPb38CKZaN6e12rP8NYeCfDcSfWfIQcX1WHyjXYHFKXCHbdgxh_Zfg7B4kF2ziW8daODBwQC_lrtAhB_dmiODOU4oh6OSNszcj4ts7k8jOWbIpbEKcOrR48U/s320/Nilai.jpg)
Nilai yang tercantum di transkrip itu multi interpretasi. Begitulah pernyataan salah seorang asisten dosen di . Memang betul. Seperti yang tercantum sebagai judul postingan kali ini: apa arti nilai A? Interpretasinya macam-macam. Apakah pasti orang yang mendapat A itu memahami kuliah? Bisa iya, tetapi belum tentu juga. Nilai artinya dia bisa mengerjakan ujian. Mungkin waktu ujian, dia tidak terlambat datang. Mungkin waktu ujian, dia tidak sakit. Mungkin sebelumnya dia kebetulan berlatih soal-soal yang ternyata keluar di ujian. Mungkin dia sedang beruntung mendapatkan dosen yang baik hati alias hanya ada nilai A dan B. Mungkin semalam dia mimpi sedang belajar, dan ternyata sama persis dengan yang diujikan. Mungkin saja.
Terus apa arti orang dapat C? Yang jelas dia tidak sempurna mengerjakan ujiannya. Mengapa? Mungkin karena semalam tidak sempat belajar lantaran harus membawa adik ke dokter. Mungkin karena soal-soal yang dipelajari tidak keluar di ujian. Mungkin karena terkena macet sewaktu berangkat ke tempat ujian. Mungkin karena jam di rumah rusak sehingga tidak sadar kalau ujian sudah mulai. Mungkin karena dia sedang sakit. Mungkin dia lagi apes gara-gara kebagian dosen killer. Mungkin karena ujiannya close book dan mengharuskan mahasiswa hafal rumus, padahal di dunia kerja kita bisa open book kapan saja. Mungkin… Mungkin… Dan itu mungkin.
Lantas apalah arti selembar transkrip nilai kalau kenyataannya seperti itu? Eit, tunggu dulu. Dunia nyata memandang bahwa keberhasilan studi seorang alumni dilihat dari transkrip nilai. Coba datangi acara-acara macam job fair, career day, titian karir, dan sebagainya. Pasti tiap perusahaan punya standar IPK minimal. Pada Titian Karir Terpadu yang diadakan di pekan lalu, syarat IPK minimal paling ringan adalah 2,5. Ada perusahaan lain yang mematok 3,2. Tetapi rata-rata memasang harga 2,7 sebagai standar. Jadi nilai memang penting (untuk saat ini).
Sebenarnya ia dibilang penting karena penghargaan. Penghargaan manusia hanya didasarkan pada itu. Dosen saya pernah cerita, “Dulu saya ini cum laude. Nilai saya hampir selalu A. Tapi baru ngerti kompuater setelah lulus S1, setelah banyak ngoprek”. Artinya, dari sudut pandang manusia beliau pantas dihargai karena selalu dapat A. Tetapi dari penguasaan ilmu beliau masih nol (ketika masih kuliah lho ya). Hanya saja (ealah…) penghargaan semacam itu telah diresmikan menjadi parameter kesuksesan.
Jadi?
Ya mau tidak mau kita harus hadapi itu dan ambil nilai setinggi mungkin, sebisa mungkin. Karena begitulah tuntutan peran seorang mahasiswa. Sehingga tak jarang mahasiswa belajar hanya demi mengejar nilai. Pragmatisme macam begini lah yang saya anut. Bagi saya, keahlian dan kebagusan IP saya adalah dua hal yang berbeda. Bagaimana menurut Anda?